Muhammad Khairun Nizam, S. Pd salah satu kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Batu Bara angkat persoalan Ilmu Hidup:Menghargai “Yang Relatif”, Menyelami” yang Mutlak, sabtu, 21 Oktober 2023
Seorang sahabat kader PMII bertanya pada saya, “Apakah ada kebenaran mutlak di hidup ini?”. Jawab saya spontan, “Selama sesuatu masih bisa dibahasakan, ia bersifat relatif.” Pertanyaan dan jawaban ini membuka salah satu persoalan penting tidak hanya di dalam filsafat, tetapi juga di dalam kehidupan. Hidup yang berarti adalah hidup yang didasari pada kebenaran. Tidak lebih dan tidak kurang.
Jawaban saya sederhana. Saya cukup yakin dengan jawaban itu. Selama sesuatu itu masih hidup dalam bahasa, maka ia tidak mutlak. Kata dan bahasa, menurut Gadamer, pemikir Jerman, hidup dalam horison hidup manusia yang bersifat relatif, beragam dan terus berubah.
Bahasa lahir dari budaya. Karena budaya beragam, maka bahasa pun juga beragam. Budaya mewakili cara pandang dunia (Weltanschauung) tertentu. Bahasa, budaya dan cara pandang dunia tersebut bersifat relatif, sehingga mereka bisa berubah, seturut dengan perubahan kebutuhan manusia. Ungkap Nizam
Kini kita membahas “Yang Relatif” dan “Yang Mutlak”
Nizam menyampaikan kita awali “Yang relatif” ini adalah segala yang lahir dari manusia. Di dalamnya termasuk agama, moralitas, filsafat, ilmu pengetahuan, seni, sastra, budaya dan sebagainya. Sebagai manusia, kita memerlukan semua itu untuk mengatur dan memperkaya hidup kita. Kita bisa mengubah semua “yang relatif”, seturut dengan perkembangan keadaan yang ada.
Nizam jelaskan sedangkan “Yang mutlak” adalah yang melampaui kata dan konsep. Ia adalah keadaan disini dan saat ini sepenuhnya.
Di dalam filsafat Asia, ia disebut sebagai “kesekarangan yang abadi” (eternal now). Di dalam agama, “yang mutlak” adalah Tuhan.Di dalam hidup, kita harus menghargai “yang relatif”. Agama, moral, filsafat, sains dan sebagainya diperlukan untuk hidup manusia. Kita harus menghargainya, dan siap mengubahnya, ketika dibutuhkan. Sambil menghargai “yang relatif”, kita harus menyelami “yang mutlak”.
Bagaimana manusia bisa menyelami “yang mutlak”? Ada banyak cara. Cara paling sederhana adalah dengan hidup sepenuhnya berakar disini dan saat ini, dimana waktu dan ruang lenyap di dalam kesekarangan. Di saat itu, ketika kita sungguh terserap di dalam kesekarangan yang abadi, kita menyelami “yang mutlak”.
Nizam mengungkapkan ketika menyentuh “yang mutlak”, hidup kita berubah. Ada ketenangan dan kedamaian yang mendalam. Ada kejernihan yang muncul, yakni kemampuan melihat keadaan sebagaimana adanya. Pendek kata, kita menjadi lebih bijaksana di dalam menjalani kehidupan.
“Yang relatif” dan “yang mutlak” adalah dua sayap kehidupan. Bagaikan burung yang perlu dua sayap, supaya ia bisa terbang. Manusia pun memerlukan sayap “yang relatif” dan sayap “yang mutlak”, supaya ia bisa menjalani hidupnya secara utuh. Jika salah satu sayap ini rusak, maka hidupnya pun akan cacat.cetus Nizam
Campur Aduk
Nizam menjelaskan Sayangnya, di dalam hidup, banyak orang berat sebelah. Mereka kerap menjadikan “yang relatif” sebagai mutlak. Agama dijadikan Tuhan. Ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap sebagai hal yang tak dapat salah.
Yang terjadi kemudian adalah kebodohan. Hidup dipenuhi dengan aturan-aturan yang menindas, terutama terhadap kelompok minoritas dan kaum perempuan. Diskriminasi, kejahatan terorisme dan konflik menjadi bagian dari hidup bersama. Indonesia sudah kenyang dengan pengalaman ini.
Disisi bahaya lainnya terjadi, ketika orang tidak menyelami “yang mutlak”. Ia hanya sibuk pada hal-hal “yang relatif”, bahkan menjadikannya hal mutlak. Hidupnya akan mengalami kekosongan. Ketika tantangan besar tiba, stress dan depresi pun tak dapat dihindari.
Ini tentu harus dihindari. Semua harus dikembalikan ke tempatnya. Agama, sains, teknologi, budaya dan semua ciptaan manusia adalah sesuatu yang relatif. Ia beragam dan bisa diubah, sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup manusia. “Yang mutlak” adalah sesuatu yang di luar bahasa dan konsep, namun dapat dialami seutuhnya dengan metode yang tepat.
Inilah ilmu kehidupan. Sebagai manusia, kita menghargai segala hal yang relatif, yakni budaya, moral, agama, filsafat dan semua keberagamannya. Kita menjadi kaya dengan pengetahuan. Namun, kita juga menyelam ke dalam “yang mutlak”, dan mendapatkan pencerahan yang mendalam darinya. Jangan ditunda lagi. Tutup nizam